Krisis Keuangan, Semoga Badai Cepat Berlalu
Oleh: Thomas D. Susmantoro
Bila sebelumnya ketemu dengan penggemar wayang, kali ini saya ketemu dengan dua teman, satu teman pemerhati masalah ekonomi dan satu lagi wanita, pemain di bursa yang sedang bermuram durja. Maklum saat ini wanita yang satu ini banyak dicari dan dimaki-maki investornya akibatnya penurunan portfolio investasinya di saham. Nomor mobile-nya terpaksa sementara ganti. Katanya yang namanya investor kita kenalnya hanya untung, diperparah lagi Manajer Investasi (MI) kita disini juga kadang-kadang menekankan sisi untungnya terus, jadi investor kita tidak siap untuk rugi. Keluar deh kata-kata mantra yang selalu keluar dari seorang manager investasi, high risk high return low risk low return, tetapi kali ini kalimatnya dia sebut terbalik, high return pastinya high risk kan. Kata mantra yang untuk orang bertipe risk-averse seperti saya ini tidak pernah terpikat.
Memang nilai tukar rupiah semakin hari semakin loyo. Bahkan, rupiah nyaris kembali menyentuh posisi terendahnya. Dalam sesi perdagangan pagi, rupiah sempat anjlok hingga Rp 10,126 per dolar Amerika Serikat (AS). Sebagai catatan, 10 Oktober 2008 lalu nilai rupiah sempat jatuh ke Rp 10.130 per dolar AS. Ini titik terendah sejak November 2005. Sampai pukul 21.36 WIB kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 10.010 per dolar AS. Artinya, selama 6 bulan terakhir, rupiah anjlok sekitar 8,24%. Sementara di bursa saham, kemarin asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 215,07 miliar. Investor asing sepertinya memilih melepas posisinya di pasar saham karena kekhawatiran terhadap risiko investasi di emerging market makin meningkat. Ditambah belakangan ini memang banyak sentimen negatif yang mengerubungi rupiah. Aliran dana asing yang keluar dari Indonesia masih terus bertambah. Menurut Kontan, yang mengambil data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Depkeu, per 21 Oktober lalu kepemilikan asing di Surat Utang Negara tinggal Rp 97,31 triliun, turun 7,75% dibanding posisi di awal bulan.
Padahal sebelumnya Bank Indonesia telah bereaksi dengan melakukan intervisi dengan menggunakan suku bunga. Bank Indonesia menaikkan BI rate menjadi 9,5%. Paradok memang dengan bank sentral dari negara lain yang beramai-ramai menurunkan tingkat suku bunga. Teman-teman yang pernah sekolah finance pasti tahu, bursa dan tingkat suku bunga itu biasanya tidak akur (rasionalnya bergerak berlawanan). Yang satu naik yang lainnya turun. Ini saham sudah anjlok karena goro-goro global financial crisis ditambah dengan palu godam suku bunga kita yang naik, makin menjerit deh teman kita yang main dibursa. Malah BEI sampai di-suspend. Situasi pasar menjadi bingung, dan akhirnya memicu investor keluar. Intervensi BI untuk menjaga nilai tukar rupiah dengan menggunakan suku bunga kelihatannya sudah tidak lagi efektif. Cadangan devisa di BI sebesar US$ 56,5 miliar tidak lagi dilihat. Sepertinya saat ini pasar lebih membutuhkan likuiditas.
Kedua teman saya, pengamat ekonomi dan pemain di bursa ini menyarankan sebaiknya BI mengikuti langkah bank sentral negara lain memangkas suku bunganya. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya fokus menjaga bursa saham. Sebab, keluarnya investor asing dari pasar saham menimbulkan tekanan besar pada rupiah. Saat menyatakan hal ini teman yang saya yang pemain di bursa kelihatannya sangat berapi-api, ya maklumlah ini kan menyangkut periuk nasi dia sekarang. Tapi kemudian saya menimpali dengan bicara bahwa kita masih beruntung karena orang yang bermain investasi kayak ginikan engga banyak. Sifat Jawa ini keluar, dimana mencari sisi positif (kalau tidak mau dibilang “kepasrahan”) buat menenangkan hati saja.
Saya jadi ingat saat kerja membangun system IT untuk suatu perusahaan pialang saham di Hongkong. Saat itu saya kaget kala tahu konsumen perusahaan pialang itu kebanyakan adalah ibu-ibu, malah ada yang sambil menenteng kantung plastik belanjaan ke kantor tersebut bertanya saham apa yang direkomendasi untuk dibeli. Pantaslah di CNN terlihat disana banyak orang demo saat diumumkan bahwa Lehman Brothers bangkrut.
Teman saya kemudian bertanya, bagaimana kalau dengan bisnis IT ? Saya jawab dengan mengatakan dimana-mana kalau yang namanya ketidak stabilan kadang membuat orang yang ingin membeli itu jadi menunda dahulu sementara. Naiknya dollar tentunya disikapi para prospek kita dengan menunggu sampai stabil (kecuali yang sudah butuh dan terpaksa akhirnya memang jalan tapi melakukan perjanjian peg dollar terhadap rupiah). Namun kalau lebih jauh dari itu dampaknya, pastilah bisa membahayakan. Bila perusahaan atau industri-nya sakit, belanja IT-nya pasti yang menjadi prioritas yang dikurangi. Apalagi untuk belanja perangkat lunak, benda ajaib tak berwujub itu.
Yah semoga badai ini cepat berlalu.
No comments yet.