Wayang dan Obrolan IT
Oleh: Thomas D. Susmantoro
Minggu lalu malam menjelang larut saya masih asyik ngobrol di coffee shop bilangan Sudirman dengan teman, seorang pimpinan di salah satu perusahaan besar. Obrolan ngalor ngidul sampai akhirnya bicara mengenai IT. Menarik, karena kawan saya ini dengan tulus menyatakan bahwa sampai sekarang perusahaan besar yang dipimpinnya masih menggunakan aplikasi “agile”, spreadsheet canggih yang terkenal itu. Tidak ada aplikasi yang terintegrasi, semua fleksibelitas dalam hal data diberikan (ini bahasa “kromo inggil” nya dari sistem manual) terkecuali menjelang akhir bulan dimana karyawan IT-nya harus jatuh bangun menyiapkan data karena data perlu diolah. Sebetulnya menurut saya tidak ada yang salah pada teman yang satu ini kalau perusahaan tidak begitu besar. Celakanya perusahaan teman saya ini perusahaan trading besar dengan karyawan banyak dan tersebar dibeberapa provinsi. Saya sendiri sebagai pekerja IT kok berpikir dia betah bekerja dengan cara begitu.
Iseng, saya bertanya ke teman saya ini, “Mas, panjenengan (kamu, bahasa Jawa halus) tidak kuatir salah mengambil keputusan akibat data atau informasinya yang tidak akurat atau salah”. Sambil saya bergurai dengan bercerita mengenai kisah wayang karena kebetulan teman saya ini juga senang wayang. Dewi Kunti itu karena informasi yang salah kemudian mengambil keputusan yang salah. Dewi Kunti saat dilaporkan bahwa Arjuna memenangkan lomba memanah, menyuruh Arjuna untuk membagi hadiah dengan saudara-saudara Pandawa lainnya yang berjumlah empat itu. Berhubung Dewi Kunti tidak tahu bahwa hadiahnya seorang wanita (Dewi Drupadi, anak putri Prabu Drupada dari negara Pancala, wanita yang konon cantik jelita itu) sehingga terjadilah Dewi Drupadi dimiliki oleh ke-5 orang Pandawa itu. Weleh-weleh, sulit memang, wanita bisa dimiliki 5 lelaki, mungkin hanya ada dicerita wayang kali ya.
Awalnya saya kuatir teman saya ini tersinggung eh malah dia ketawa lepas cenderung meledak-ledak seperti Dursana. Dia malah menimpali dengan menceritakan kisah Durno gugur. Durno tewas karena sudah kalah secara psikologis saat mendengar anak kesayangannya telah meninggal (Aswatama), padahal keliru dengan gajah kesayangannya yang namanya mirip-mirip. Celakanya waktu Durno menanyakan kepada Yudhistira (Puntadewa), Puntadewa yang terkenal jujur di keluarga Pandawa itu itu juga menyampaikan hal yang sama tanpa menjelaskan itu anaknya atau gajah kesayangan. Jadilah Durno depresi dan bisa terbunuh oleh Drestadyumena (titisan Prabu Ekalaya) dalam perang Bharatayuda. Sekali lagi, akibat informasi yang salah dan tidak lengkap membuat seseorang bisa salah membuat keputusan malah diceritakan bisa “terbunuh”.
Setelah itu teman saya ini merenung, lama, dan kemudian dia membenarkan bahwa dia telah menyadari hal itu. Fleksibelitas itu masih bisa berjalan karena trust yang sudah terbangun lama dan kebetulan teman-teman kepercayaannya masih bisa bekerja dengan cara itu. Namun mengandalkan semua kepada brainware yang kemudian dapat melambat, menua dan pikun memang berisiko. Perlunya mentransfer hal ini kepada junior penerusnya untuk tetap fleksible tapi dengan dilengkapi dengan suatu prosedur yang membantu mengeliminasi (atau sekurang-kurang mengurangi) orang berbuat kesalahan, adalah yang dia cari. Fleksibiltas yang accountable. Sistem IT menurut dia harus juga harus membuat perusahaannya menjadi learning organization (organisasi pembelajar) untuk bisa terus survive dan sukses dalam era kompetisi yang tinggi. Success Built to Last, itu keinginannya sambil merujuk buku terkenal dari Jerry Porras dkk. Wah jangan-jangan teman saya ini pendukung kandidat presiden US dari partai Republik, John McCain (karena setahu saya McCain kasih foreword dibuku itu).
Cuma masalahnya apakah system IT seperti ERP (Enterprise Resource Planning) bisa seperti itu. Jangan-jangan malah sistemnya dan prosedurnya rigid sehingga tidak bisa memberikan fleksibilitas itu. Setiap bisnis kan pasti pula competitive value add yang berharap tidak dimiliki oleh pesaingnya. Kalau semua distandarisasi malah bisa menghilangkan competitive values yang dia miliki. Differensiasi sebagai strategi pemenangan dalam kompetisi yang dia jalankan perlu didukung oleh sistem IT yang tidak kaku nantinya.
Tambahnya, sistem IT juga menuntut kecepatan bukan malah habis waktu untuk mengelola informasi dan masalah IT-nya. Informasi harus cepat dan malah terintegrasi kalau perlu dengan gadget para eksekutifnya. Perang bisnis sekarang memang bukan seperti perang wayang dimana senjata unggulan saling bertarung dan mengalahkan. Sambil kembali menyinggung soal wayang Bima (idola teman saya) yang memiliki aneka ragam senjata yaitu: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan senjata serta ajian lain. Sekarang ini dia sadari sudah masuk dalam perang informasi yang mengadalkan kecepatan sebagai kata kunci. It is not a bigger beats a small but a faster beats a slow one.
Teman saya ini kelihatan paham tetapi sebagai mana ‘penyakit’ orang paham malah takut (kalau tidak mau dikatakan takut kita sebut saja terlalu berhati-hati) untuk memulai. Saya bersepakat bahwa sistem IT itu harus seperti itu sambil memberikan nomor telpon teman yang bisa dihubungi untuk itu. Tampil beda kan bukan berarti yang lain menggunakan tetapi kita tidak kan mas, sambil tersenyum. Kita bisa berubah “ to the changes we can believe in” kayak Obama kan mas.
Sudah malam mas kita. Mari kita tancep kayon!
Selesai.
No comments yet.